Catatan

Lima Jam Bersama TVRI Banda Aceh

Oleh: Alfazri*

fazrigayo

Sabtu Sore,  jam ditangan menunjukkan pukul 14:20 WIB, team Lintas Gayo (LG) akan melakukan perjananan menuju Bur Gayo. Sebuah tempat untuk berekreasi di Takengon, Aceh Tengah.

Perjalanan  kali ini,ditemani oleh kru TVRI Banda Aceh.  Mereka adalah Ibrahim, Safril, Natanil, Yumadi, dan Romi Juliansyah. Tujuan perjalanan ini adalah untuk pengambilan gambar program acara Pelangi Nusantara yang akan disiarkan oleh TVRI Nasional.

Selain itu, ikut serta bersama kami tiga orang siswa dari SMA Negeri 1 Takengon. Mereka akan menjadi pengisi kegiatan Pelangi Nusantara TVRI dengan melantunkan  lagu Gayo. Mereka, Rima Arami (Vokal), Zaki Fuadi (Rapai) dan Rudi Pratama (Gitar).

Mengendarai dua mobil, kami bergerak dari Batas Kota Café (BK) menuju Atu Tingok atau yang lebih dikenal dengan Bur Gayo.

Memasuki wilayah Bur Gayo dari kampung Asir–asir, perjalanan mulai terasa tidak nyaman. Mengapa tidak, jalan beraspal menuju Bur begitu sempit dan menanjak. Belum lagi lubang yang memenuhi jalan, membuat semua pengendara, khususnya roda empat, harus berhati-hati jika berhadapan dengan pengendara lain dari arah berlawanan.

Lima belas menit kemudian, di sebuah lokasi, kami harus memarkir mobil. Karena, untuk mencapai lokasi Bur Gayo hanya bisa dilalui dengan jalan setapak.

Sesampainya di sebuah persimpangan yang tidak jauh dari kebun nanas, kami mulai menaiki anak tangga yang tidak lagi sempurna bentuknya .  Sesekali kami bersenda gurau untuk menghilangkan rasa lelah dan kaki yang mulai pegal setelah menaiki anak tangga yang lumayan banyak. Sekitar 50-an anak tangga. Setelah melewati anak tangga, jalan datar sekitar setengah kilometer. Lumayan melelahkan juga.

“Kaki saya mulai terasa pegal”, kata seorang dari teman, setengah berbisik. Ia berhenti sejenak sambil membetulkan tas yang dibawanya.

Kami pun terus berjalan di atas jalan setapak yang telah bersemen.  Rumput-rumput liar menghiasi jalan setapak tersebut.

Sesampainya di puncak Bur Gayo, kami pun menarik nafas. Sebuah shelter menjadi pilihan kami untuk beristirahat. Tidak jauh dari shelter tempat kami beristirahat, terdapat sebuah grafiti besar berwarna putih bertuliskan GAYO HIGH LAND yang dapat dilihat dengan jelas oleh seluruh masyarakat di kota dingin tersebut.

Tapi sangat disayangkan,  Bur Gayo, salah satu objek wisata andalan Aceh Tengah ini justru tidak terawat dengan baik. Shelter tempat kami berteduh sungguh tidak nyaman lagi untuk digunakan. Beberapa papan bagian shelter tidak lagi pada posisinya, jatuh ke lantai. Sampah yang berserakan ditambah kotoran ternak. Semua kondisi lapangan ini menjadi pemandangan yang biasa di Gayo High Land. Tanpa ada yang peduli.

Selidik punya selidik rupanya, lokasi yang dibenahi oleh Pemkab Aceh Tengah tersebut ternyata diklaim oleh seorang warga sebagai miliknya. Bisa ditebak, kegiatan perawatan shelter tersebut terjebak di posisi “gantung”, oleh pemerintah atau yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun bersama seluruh team mencari beberapa lokasi yang cocok untuk dijadikan lokasi shooting Pelangi Nusantara yang akan dibawakan oleh dibawakan oleh tiga siswa yang turut serta bersama kami.

Akhirnya kru TVRI Banda Aceh memilih lokasi yang cocok untuk dijadikan lokasi shooting Pelangi Nusantara yang akan dibawakan oleh dibawakan oleh tiga siswa yang turut serta bersama kami. Yaitu dibawah grafiti Gayo High Land.

“Ayo, kita siap-siap….”, ujar salah seorang kru TVRI.

Ketiga siswa yang akan tampil pun mulai bersiap-siap. Mereka akan membawakan dua buah lagu Gayo yang berjudul  Atu Belah dan Puteri Pukes. Tidak tampak lelah di wajah mereka, padahal mereka baru saja pulang dari Banda Aceh, setelah mengikuti sebuah festival band yang mewakili sekolahnya. Mereka tetap antusias dan bersemangat mengikuti arahan dari para kru TVRI. R

Proses penmgambilan gambar berlangsung selama 30 menit.  Walau panasnya matahari terasa begitu menyengat, tetap tidak mengendurkan semangat semua team.

Setelah sesi pengambilan video selesai kami pun tak mau ketinggalan memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berfoto bersama. Foto bersama ini sedikitnya dapat mengobati kelelahan kami mendaki Bur Gayo.

Setelah itu kami pun mulai berjalan pulang dengan menuruni anak tangga yang tadi kami naiki. Meninggalkan Bur Gayo dengan segala kesemrautannya. Shelter yang tidak layak digunakan, sampah yang berserak hingga kotoran yang memenuhi arael Bur Gayo alias Bur Peteri Bensu atau Bur Telege.

Kami menuju kembali pada tempat parkiran mobil. Tidak jauh dari sana, terdapat sebuah bangunan berbentuk panggung yang biasanya digunakan untuk istirahat dan sholat bagi para pengunjung Bur Gayo. Sebuah sumur tanpa timba dan wc umum yang hanya berjarak beberapa meter yang sudah tidak layak pakai.

Kondisi ini semakin menjelaskan betapa rusaknya kondisi Bur Gayo. Nyaris kurang perhatian, baik dari masyarakat setempat apalagi pemerintah. Tidak adanya koordinasi pihak terkait begitu nyata terlihat, mulai dari hutan, hingga penataan ruang yang berantakan.

Setelah dari Bur Gayo, kami melanjutkan perjalanan menuju Pegasing untuk mengunjungi sebuah kebun Nanas. Saat itu, salah seorang kru  TVRI berujar; “sepertinya menarik jika aktivitas petani nanas kita ambil gambarnya”.

“Boleh.. boleh…”, sambut seorang anggota rombongan, semangat.

Akhirnya kami pun berhenti sejenak untuk mengambil beberapa bagian dari aktivitas para petani nanas di sana termasuk sedikit wawancara. Beberapa menit setelah pengambilan gambar, akhirnya rezeki menghampiri seluruh team. Kami mencicipi nanas dari petani. “Ini namanya rezeki nomplok”, ujar salah seorang dari kami sambil tertawa.

Hari pun mulai senja. Saya melihat jam di tangan. “Sebentar lagi maghrib”, kata saya kepada teman-teman. Kami bergegas kembali menuju kota Takengon. Dingin mulai terasa, khususnya bagi teman-teman dari TVRI.

Namun yang pasti, perjalanan ini telah memberi kami banyak pengalaman, khususnya terkait masalah Bur Gayo yang kurang terpelihara. Seandainya pemerintah lebih peduli, tentu akan menjadi lumbung bagi pendapatan daerah, dan masyarakat akan ikut mendapat manfaatnya.

*Suku Gayo, berdomisili di Kabupaten Bener Meriah

Tulisan ini pernah dimuat di Lintasgayo.com on Friday, 30 March 2012

Sumber: http://www.lintasgayo.com/21170/lima-jam-bersama-tvri-banda-aceh.html

Leave a comment